MAKALAH
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
“ TEORI BELAJAR KI HAJAR DEWANTARA”
DISUSUN
OLEH : KELOMPOK VII
JURUSAN PENDIDIKAN
KIMIA
FAKULTAS
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA (FPMIPA)
NSTITUT KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP)
MATARAM
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa,
yang telah memberikan hidayah dan karuniaNya, sehingga makalah Belajar dan
Pembelajaran dapat terselesaikan, sholawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, dan sahabat-sahababiah
beliau.
Dengan selesainya makalah Belajar dan Pembelajaran, penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak terutama
kedua orang tua yang telah membantu memberikan do’a, bimbingan, saran-saran dan
informasi yang sangat bermanfaat.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah
Belajar dan Pembelajaran ini, tidak luput dari kesalahan, kekeliruan,
kejanggalan maupun kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun, demi kesempurnaan makalah selanjutnya, semoga makalah ini
dapat bermanfaat Aamiin.
Mataram, 14 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR ISI..................................................................................................
ii
BAB I : PENDAHULUAN............................................................................
1
A.
Latar Belakang...............................................................................
1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan............................................................................................
2
BAB II : PEMABAHASAN ......................................................................... 4
A. Biografi Ki Hajar Dewantara........................................................
4
B.
Ki Hajar Dewantara Dengan Ajarannya.......................................
5
C.
Pandangan Ki Hajar Dewantara Dalam Pendidikan....................
8
D. Aplikasi Pandangan Ki Hajar Dewantara Dalam
Pendidikan...... 11
E.
Teori Ki Hajar
Dewantara Dengan Konstruktivisme.................. 16
F.
Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan di
Indonesia saat ini…… 22
BAB III :
PENUTUP....................................................................................
27
A.
Kesimpulan...................................................................................
27
DAFTAR
PUSTAKA
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai
sejak zaman Yunani Kuno, yakni ketika munculnya para filosof seperti
Aristoteles, Socrates, Decrates, Plato, dan lainnya. Filosof-filosof ini telah
menyusun berbagai filsafat yang secara prinsip membahas persoalan ontology
(hakikat realitas), epistemology (pengetahuan), dan aksiologi (nilai). Hasil
pemikiran mereka ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
perkembangan pemikiran pendidikan hingga dewasa ini. Dari sekian banyak tokoh
pemikir, tokoh-tokoh yang muncul dalam perdebatan teori kebanyakan dari
pemikir-pemikir Barat dan Eropa, sedikit atau jarang dari pemikir-pemikir
Timur. Walaupun demikian, pemikir Timur pun sebenarnya tidak kalah visionernya,
sebut saja pemikir dari aliran Islam misalnya Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu
Rusyd, dan lain-lain.
Di Indonesia, muncul tokoh karismatik yang teguh
pendirian dan visioner dalam persoalan pendidikan, yakni Ki Hajar Dewantara.
Banyak hal yang dapat digali dari satu tokoh ini terutama tentang pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan
transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses
pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan,
intimidasi, dan eksploitasi. Disinilah letak afinitas dari pedagogik, yaitu
membebaskan manusia secara komprehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar
dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Bab
I, pasal I ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mengembangkan potensi siswa untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pandangan klasik tentang pendidikan pada
umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat dijalankan pada tiga fungsi
sekaligus: Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memegang
peranan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa depan. Kedua, mentransfer
atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan, dan Ketiga,
mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan
masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive)
masyarakat dan peradaban-perbedaan.
Pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge) kepada peserta didik, tetapi lebih
dari itu, yakni mentransfer nilai (transfer of value). Selain itu,
pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu
mengembangkan potensi dan daya kreatifitas yang dimilikinya agar tetap survive
dalam hidupnya. Karena itu, daya kritis dan partisipatif harus selalu muncul
dalam jiwa peserta didik.
B.
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dari teori belajar Ki
Hajar Dewantara sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah biografi Ki Hajar
Dewantara ?
2.
Bagaimanakah Ki Hajar Dewantara
dengan ajarannya ?
3.
Bagaimana pandangan Ki Hajar
Dewantara dalam pendidikan ?
4. Bagaimana aplikasi pandangan Ki Hajar Dewantara
dalam pendidikan ?
5. Apa kaitan teori Ki Hajar Dewantara dengan Konstruktivisme ?
6. Bagaimanakah Peranan Ki Hajar Dewantara dalam
perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini ?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
bagaimana biografi Ki Hajar Dewantara
2. Memahami
ajaran Ki Hajar Dewantara
3. Agar
mengetahui bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan
4. Untuk
mengetahui bagaimana aplikasi Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan
5. Mengetahui
kaitan teori Ki Hajar Dewantara dengan kontruktivisme
6. Mengetahui
peranan Ki Hajar Dewantara dalam perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ki Hajar Dewantara
Suwardi Suryaningrat atau yang lebih
dikenal dengan Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta.
Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Beliau adalah aktivis
pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan
bagi kaum pribumi indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah
pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan
seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pernah ia di buang ke
negeri Belanda oleh pemerintah Belanda dari tanggal 6 September 1913 sampai
dengan 5 September 1919, karena kritik pedasnya pada pemerintah Hindia Belanda
saat itu. Karena pengabdian dan prestasinya yang besar dalam bidang pendidikan,
beliau menjadi menteri pendidikan Indonesia yang pertama pada tahun 1956 di era
pemerintahan Soekarno. Beliau wafat pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan
dengan pemakaman negara secara militer serta diangkat menjadi Perwira Tinggi
oleh pemerintah. Beliau kini dikenang sebagai Bapak Pendidikan bangsa
Indonesia. Dan pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan hari lahirnya,
tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Berbagai
Penghargaan
·
Gelar Doktor Kehormatan (honoris causa)
di bidang Ilmu Kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada
·
Diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tanggal
28 Nopember 1959 Dianugerahi Presiden penghargaan Bintang Mahaputra I pada
tanggal 17 Agustus 1960
·
Dianugerahi tanda kehormatan Satya Lencana
Kemerdekaan pada tanggal 20 Mei 1961
Perubahan Nama dan Prinsip Hidup Ki Hajar
Dewantara
Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka,
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat. Ki Hajar Dewantara sendiri dengan
mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan
pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan
yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara. Oleh
karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang
mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi
perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai
pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah
berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa
keselamatan.
B. Ki
Hajar Dewantara dan Ajarannya.
Ki
Hadjar Dewantara dikenal sebagai tokoh yang berjuang untuk member jawaban
terhadap pertanyaan: Pendidikan apakah yang cocok untuk anak-anak Indonesia?
Jawabannya adalah Pendidikan Nasional. Untuk menyelengarakan pendidikan
nasional beliau mendirikan Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa yang
kemudian dikenal sebagai Perguruan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa bertujuan
untuk membuat rakyat pandai, sebab Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan bahwa
perjuangan pergerakan tidak akan berhasil tanpa kepandaian. Untuk itu beliau mengemukakan
konsepnya mengenai Pendidikan Nasional yang direalisasi mulai tanggal 3 Juli
1922 dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta dengan
tugas-tugasnya :
a. Pertama
adalah untuk mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, untuk
menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan
bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang merdeka.
b. Kedua
membantu perluasan pendidikan dan pengajaran yang pada waktu itu sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak, sedang sekolah yang disediakan oleh pemerintah
Belanda sangat terbatas.
Ki
Hajar Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan yang merupakan sistem
pendidikan perjuangan. Falsafah pendidikannya adalah menentang falsafah penjajahan
dalam hal ini falsafah Belanda yang berakar pada budaya Barat. Falsafah pendidikan
Ki Hajar Dewantara bukan semata-mata sistem pendidikan perjuangan, melainkan
juga merupakan suatu pernyataan falsafah dan budaya bangsa Indonesia sendiri.
Sistem pendidikan tersebut kaya akan konsep-konsep kependidikan yang asli. Ki
Hajar Dewantara mengembangkan sistem pendidikan melalui Perguruan Taman Siswa
yang mengartikan pendidikan sebagai upaya suatu bangsa untuk memelihara dan mengembangkan
benih turunan bangsa itu. Untuk itu, Ki Hajar Dewantara mengembangkan metode
among sebagai sistem pendidikan yang didasarkan asas kemerdekaan dan kodrat
alam. Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara itu dikembangkan berdasarkan lima asas
pokok yang disebut Pancadarma Taman Siswa, yang meliputi:
a. Asas kemerdekaan,
yang berarti disiplin diri sendiri atas
dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat.
b. Arti merdeka
adalah sanggup dan mampu untuk berdiri
sendiri untuk mewujudkan hidup diri sendiri, hidup tertib dan damai dengan
kekuasaan atas diri sendiri. Merdeka tidak hanya berarti bebas tetapi harus
diartikan sebagai kesanggupan dan kemampuan yaitu kekuatan dan kekuasaan untuk
memerintah diri pribadi.
c. Asas kodrat alam,
yang berarti bahwa pada hakikatnya
manusia itu sebagai makluk, adalah satu dengan kodrat alam. Manusia tidak dapat
lepas dari kodrat alam dan akan berbahagia apabila dapat menyatukan diri dengan
kodrat alam yang mengandung kemajuan itu. Oleh karena itu, setiap individu
harus berkembang dengan sewajarnya.
d. Asas kebudayaan,
yang berarti bahwa pendidikan harus
membawa kebudayaan kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan
kecerdasan zaman, kemajuan dunia dan kepentingan hidup lahir dan batin rakyat
pada setiap zaman dan keadaan.
e. Asas kebangsaan,
yang berarti tidak boleh bertentangan
dengan kemanusiaan, malah harus menjadi bentuk kemanusiaan yang nyata. Oleh karena
itu asas kebangsaan ini tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain
melainkan mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka,
rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin
seluruh bangsa.
f. Asas kemanusiaan,
yang menyatakan bahwa darma setiap
manusia itu adalah perwujudan kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian
batin dan adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makluk
ciptaan Tuhan seluruhnya.
C. Pandangan Ki Hajar
Tentang Pendidikan
Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara
kedewasaan bisa diartikan sebagai kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang selaras dengan alamnya dan masyarakat. Ki Hajar
Dewantara mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk
mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan
jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik.
Kedewasaan akan tercapai pada akhir
windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras dengan alam anak dan
masyarakat. Jadi dapat diartikan bahwa pendidikan terutama berlangsung sejak anak
lahir hingga anak berusia sekitar 24 tahun.
“Ki Hajar menyetujui teori
Konvergensi, dimana perkembangan manusia itu ditentukan oleh dasar (nature) dan
ajar (nurture). Anak yang baru lahir diibaratkan keertas putih yang sudah ada
tulisannya, tetapi belum jelas”.
Selanjutnya Ki Hajar juga
berpendapat bahwa perkembangan anak didik mulai dari lahir hingga dewasa dibagi
atas fase-fase sebagai berikut: (1) Jaman Wiraga (0-8 th) merupakan periode
yang amat penting bagi perkembangan badan dan pandca indra. (2) Jaman Wicipta
(8-16 th) merupakan masa perkembangan untuk daya-daya jiwa terutama pikiran
anak, dan (3) Jaman wirama (16-24 th) masa untuk menyesuaikan diri dengan
masyarakat di mana anak mengambil bagian sesuai dengan cita-cita hidupnya.
Selain itu ajaran beliau yang tidak
kalah penting adalah yang Konsep dasar
kependidikan Ki Hajar Dewantara yang sekaligus diterima sebagai prinsip
kepemimpinan bangsa Indonesia dikenal sebagai sistem among, yang antara lain berbunyi:
a. “ing
ngarsa sung tulada” berarti guru sebagai
pemimpin (pendidik) berdiri di depan dan harus mampu memberi teladan kepada
anak didiknya. Guru harus bisa menjaga tingkah lakunya supaya bisa menjadi
teladan. Dalam pembelajaran, apabila guru mengajar menggunakan metode ceramah,
ia harus benar-benar siap dan tahu bahwa yang diajarkannya itu baik dan benar.
b. “ing
madya mangun karsa” yang berarti bahwa
seorang pemimpin (pendidik) ketika berada di tengah harus mampu membangkitkan
semangat, berswakarsa dan berkreasi pada anak didik. Hal ini dapat diterapkan
bila guru menggunakan metode diskusi. Sebagai nara sumber dan sebagai pengarah
guru dapat memberi masukan-masukan dan arahan.
c. “tut
wuri handayani” yang berarti bahwa
seorang pemimpin (pendidik) berada di belakang, mengikuti dan mengarahkan anak
didik agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Ketika guru
berada di tengahmembangun semangat, di belakang memberi dorongan, dapat terjadi
anak didik akan berusaha bersaing, berkompetisi menunjukkan kemampuannya yang
terbaik.
Metode Among
Cara
mengajar dan mendidik dengan menggunakan “metode Among” dengan semboyan Tut
Wuri Handayani artinya mendorong para anak didik untuk membiasakan diri mencari
dan belajar sendiri. Mengemong (anak) berarti membimbing, member kebebasan anak
bergerak menurut kemauannya. Guru atau pamong mengikuti dari belakang dan
memberi pengaruh, bertugas mengamat amati dengan segala perhatian, pertolongan
diberikan apabila dipandang perlu. Anak didik dibiasakan bergantung pada
disiplin kebatinannya sendiri, bukan karena paksaan dari luar atau perintah
orang lain. Among berarti membimbing anak dengan penuh kecintaan dan
mendahulukan kepentingan sang anak. Dengan demikian anak dapat berkembang
menurut kodratnya. Hubungan murid dan pamong seperti keluarga. Murid memanggil
gurunya dengan sebutan “ibu” atau “bapak” berbeda dengan sekolah lain pada
jaman itu yang memanggil gurunya dengan sebutan “tuan”, “nyonya”, “nona”,
“ndoro”, “den Behi” atau “mas Behi”.
Dengan
menggunakan dasar kekeluargaan dalam metode among hubungan antara murid dan
guru sangat erat. Pengertian keluarga juga dipakai untuk sendi persatuan. Sifat
keluarga mengandung unsur unsure.
1. Cinta
mencintai sesama anggota keluarga
2. Sesama
hak dan sesama kewajiban
3. Tidak
ada nafsu menguntungkan diri dengan merugikan anggota lain.
4. Kesejahteraan
bersama
5. Sikap
toleran
Selain
asas kekeluargaan Pendidikan di Taman Siswa menggunakan sistem Tri Pusat.yaitu
:
1. Pusat
keluarga, buat mendidik budi pekerti dan laku social
2. Pusat
perguruan, sebagai balai wiyata untuk usaha mencari dan memberikan ilmu
pengetahuan di samping pendidikan intelek
3. Pusat
pergerakan pemuda, sebagai daerah merdekanya kaum pemuda atau “kerajaan Pemuda”
untuk melakukan penguasaan diri, yang amat penting untuk pembentukan watak.
Dalam
memberi pelajaran, supaya tidak membosankan dan menyenangkan, contoh-contoh
yang dipakai diambilkan dari kehidupan sehari-hari yang dikenal oleh murid.
Dengan demikian pelajaran yang diberikan menjadi gamblang (jelas) dan
dapat meresap pada ingatan anak didik. Hal ini cocok dengan model kontekstual.
Fatwa Sendi Kehidupan
Ki
Hadjar Dewantara juga mengajarkan bahwa dalam mempelajari sesuatu sebaiknya
bersendikan “tetep-mantep-antep”, “ngandel-kendel-bandel-kandel”
dan “Neng-ning-nung- nang”
a. “Tetep”
atau tetap, maksudnya untuk mencapai apa
yang kita kehendaki perlulah kita selalu tetap dalam pekerjaan kita jangan
selalu menengok kanan kiri. Kita harus berjalan tertib dan maju, setia dan taat
terhadap segala asas-asas kita. Kita harus selalu “Mantep” atau
berbesar hati, agar tidak akan ada kekuatan yang akan menahan langkah kita atau
membelokkan langkah kita. Sehingga dengan sendirinya perbuatan kita akan “antep”
atau berat (berbobot), sehingga tidak mudah kita ditahan, dihambat atau
dilawan.
b. “Ngandel” atau percaya maksudnya
yakin kepada penguasa (Tuhan) dan kekuatan diri. “Kendel” atau
berani, yaitu menghindarkan rasa takut atau wasangka. “Bandel” atau
tahan, tawakal, hatinya kuat menderita. “Kandel” atau tebal, yang
meskipun menderita namun kuat badan dan tubuhnya. Keempat tabiat ini saling
berhubungan : “barang siapa dapat percaya tentu akan berani, lalu mudahlah ia
tawakal dan dengan sendirinya ia akan tebal tubuhnya.”
c. “Neng”,
berarti “meneng” yaitu
tenteram lahir batinnya. “Ning” dari perkataan “wening”
dan “bening” berarti jernih pikirannya, mudah dapat
membedakan barang yang hak dan batal, yang benar dan yang salah
d. “Nung”
dari kata “hanung” berarti
kuat, sentosa dalam kemauannya, yaitu kokoh dalam segala kekuatannya, lahir dan
batin, untuk mencapai apa yangdikehendakinya “Nang” yaitu “menang”
atau dapat “wewenang” atau berhak atas buah usahanya.
Keempat
tabiat ini saling berhubungan : barang siapa dapat “neng” tentu mudah
ia akan berpikir “ning”, lalu menjadi kuat atau “nung” kemauannya,
dan dengan sendirinya akan “menang”.
D.
Aplikasi Pandangan Ki
Hadjar Dewantara Dalam Pendidikan
Pada
jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi
perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi
informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga
melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun
relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam
masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih dari pada apa yang berhasil
dibuatnya, dan lain-lain. Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk
membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia
yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuh kembangkan
dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia
pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang
dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil atau tidak berhasil
dilakukannya) dari pada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau
“being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan
seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang
menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar
pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang
humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti
membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh
berkembang, (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya
rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the
heart, and the hand !” Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan
teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”,
asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan atau barang-barang baru dalam
bidang IPTEK yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan
dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas
dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki
sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas
atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan
pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang
perlu ditumbuh kembangkan pada diri peserta didik. Ki Hajar Dewantara, pendidik
asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya.
Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara
seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan
menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan
bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan
menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai
sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan
menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang
sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain
adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya.
Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi
adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat
itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah: “Lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia
kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain
dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang
melingkupinya. Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin
menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria
pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual
ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta
didik untuk melindungi bangsa dan negara.
Bagi
Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi
pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan
bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah
fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai
fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri
memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang
keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia,
mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan
perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu
mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Manusia merdeka
adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan
kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya
kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan,
kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan
disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya
sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati
setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek
nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik.
Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan
independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya
berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan
dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala
hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati)
manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang
berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan
terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya
dihormati, pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka
dan independen secara fisik, mental dan spiritual. pendidikan hendaknya tidak
hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang
kebanyakan, pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan
antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan. pendidikan hendaknya
memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri, setiap orang harus hidup
sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan
pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang
dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat
mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab
atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai
dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan
pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based
on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu
berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang
mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang.
Oleh
karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the
head, the heart, and the hand”. Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam
mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta
didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan
pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi
sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi
antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti
perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif
yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan
pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini
penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik,
intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu
menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang
profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap
peserta didik. Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah
memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang
lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang
bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan
berkeahlian.
E.
Ki
Hajar Dewantara dan Konstruktivisme
Ki Hajar Dewantara
dan konstruktivisme dalam pendidikan mempunyai kesamaan. Keduanya sama-sama menekankan bahwa titik-berat proses
belajar-mengajar terletak pada murid. Pengajar berperan sebagai fasilitator
atau instruktur yang membantu murid mengkonstruksi koseptualisasi dan solusi
dari masalah yang dihadapi. Mereka beperpendapat bahwa pembelajaran yang
optimal adalah pembelajaran yang berpusat pada murid (student center
learning).
Konstruktivisme yang sudah besar
pengaruhnya sejak periode 1930-an dan 1940-an di Amerika, juga di Eropa, secara
langsung atau tidak langsung dasar-dasarnya pernah dipelajari oleh Ki Hadjar. Dasar pertama yang dari pendekatan
konstruktivisme dalam pendidikan adalah ‘teori konvergensi’ yang menyatakan
bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan (nature)
dan faktor pengasuhan (nurture). Dalam tulisannya berjudul ”Tentang dasar dan
ajar”, Ki Hadjar menunjukkan keberpihakannya kepada teori konvergensi.
Menurutnya, baik ‘dasar’ (faktor bawaan) maupun ‘ajar’ (pendidikan) berperan
dalam pembentukan watak seseorang.
Dalam penerapannya
di bidang pendidikan, oleh Ki Hajar teori konvergensi diturunkan menjadi sistem
pendidikan yang memerdekakan siswa atau yang disebutnya ‘sistem merdeka’. Dalam
tulisan “Ketertiban, Perintah dan Paksaan. Faham Tua dan Faham Baru”, Ki Hadjar
mengemukakan 10 syarat untuk melakukan ‘sistem merdeka’ agar memperoleh hasil
yang baik. Inti dari syarat-syarat itu dalam hemat saya adalah memfasilitasi
siswa untuk memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pembelajaran,
mencakup pembelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakan sesuai dengan
hukum sebab-akibat dan kesadaran tentang pentingnya belajar bagi kehidupan
siswa dalam keseharian mereka. Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan
diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan
mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya.
Menjadi manusia
merdeka berarti a). tidak hidup terperintah, b). berdiri tegak karena kekuatan
sendiri, dan c). cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan
menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak bisa disetir. Jika dicermati, maka ‘sistem merdeka’ dari Ki
Hadjar sejalan dengan pandangan konstruktivisme. Dasar pemikiran
konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia. Orang
yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan,
melainkan menciptakan sendiri. Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak
mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun
pengetahuannya sendiri.
Penerapan konstruktivisme
dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan
aktivitas utama pada siswa. Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme
memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan
peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang
seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu
disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan.
Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang
memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai
pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang
pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah
siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar. Dengan itu, ia bisa jadi
pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang butuhkan dalam
kehidupan.
Pandangan
konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar yang
menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya
perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut
dan melakukan perintah (dalam bahasa Jawa=dhawuh). Ki Hadjar mengartikan
mendidik sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya
budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran,
teladan dan pembiasaan” Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam
pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, memberi teladan dan
membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam
memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka
“ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya
segala pekerjaan dan keadaan.”
Teori perkembangan
dari tokoh psikologi kognitif, Jean Piaget (1954) mengatakan, bahwa anak
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan
objek-objek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya
sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi
dari tindakan-tindakannya. Teori Piaget juga merupakan salah satu dasar dari
konstruktivisme. Ini menunjukkan adanya kesesuaian antara pemikiran Ki Hadjar
dan konstruktivisme sama-sama memandang pengajar sebagai mitra para siswa untuk
menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari
guru ke murid melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Kegiatan mengajar di sini adalah sebuah partisipasi dalam
proses belajar. Pengajar ikut aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan,
mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan
penilaian-penilaian terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah
membantu siswa untuk berpikir secara kritis, sistematis dan logis dengan
membiarkan mereka berpikir sendiri.
Sejalan dengan
konstruktivisme, Ki Hadjar yang memakai semboyan “Tut Wuri Handayani”,
menempatkan pengajar sebagai orang yang berada di belakang siswa, membimbing
dan mendorong siswa untuk belajar, memberi teladan, serta membantu siswa
membiasakan dirinya untuk menampilkan perilaku yang bermakna dan berguna bagi
masyarakatnya. Pengajar harus banyak terlibat dengan siswa agar ia memahami
konteks yang melingkupi kegiatan belajar siswa. Ia juga melibatkan siswa dalam
menentukan apa yang hendak dibicarakan dalam kegiatan belajar-mengajar sehingga
siswa benar-benar terlibat. Keterlibatan pengajar dengan siswa pada saat-saat
siswa sedang berjuang menemukan berbagai pengetahuan sangat diperlukan untuk
menumbuhkan rasa percaya siswa baik pada dirinya sendiri maupun pada pengajar.
Pengajar harus
memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat memahami dan menghargai
pemikiran siswa karena seringkali siswa menampilkan pendapat yang berbeda
bahkan bertentangan dengan pemikiran pengajar. Apa yang dikatakan oleh murid
dalam menjawab sebuah pertanyaaan adalah masuk akal bagi mereka saat itu. Jika
jawaban itu jauh bertentangan dengan prinsip-prinsip keilmuan atau
membahayakan, maka pengajar harus hati-hati dalam memberi pengarahan. Jangan
sampai pengarahan yang diberikan menghilangkan rasa ingin tahu siswa atau
menimbulkan konflik antara pengajar dengan siswa. Dalam perkataan Ki Hajar, “Si
pendidik hanya boleh membantu kodrat-iradatnya “keadilan”, kalau buahnya segala
pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul karena adanya rintangan, atau kalau
buahnya itu tidak terlihat nyata dan terang.”
Pada dasarnya,
secara formal pendidikan yang dijalani oleh Ki Hajar adalah pendidikan Barat.
Dasar pemahaman tentang pendidikan diperolehnya dari teori-teori yang
dikembangkan para pemikir Barat, di antaranya filsuf Yunani Sokrates dan Plato,
tokoh pendidikan Friederich Fröbel dan Maria Montessori, Rudolf Steiner, Karl
Groos, serta ahli ilmu jiwa Herber Spencer. Itu bisa kita lihat dari tulisan-tulisan Ki
Hadjar yang banyak merujuk mereka.
Dari banyaknya
rujukan yang digunakan, tampak jelas Ki Hadjar merupakan orang yang giat
belajar dan berwawasan luas. Pemikiran-pemikiran yang dirujuknya adalah
pemikiran-pemikiran mutakhir di jamannya. Ia tampak sebagai orang yang terus
menambah dan mengembangkan pemahamannya tentang pendidikan. Saya menilainya
sebagai tokoh yang progresif dan berorientasi ke depan dalam bidang pendidikan
Indonesia. Tetapi yang menjadikan pemikiran Ki Hadjar berharga bagi Indonesia,
khususnya dalam bidang pendidikan adalah kemampuannya menempatkan
pemikiran-pemikiran mutakhir itu dalam konteks Indonesia. Ki Hadjar tidak hanya
menyerap atau meniru pemikiran para ahli, melainkan memodifikasi dan
mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Dalam
karya-karyanya, dapat dicermati bagaimana Ki Hadjar mengembangkan teori dan
sistem pendidikan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ia menganjurkan pelibatan
keluarga sebagai agen utama dalam pendidikan. Sebagai contoh, dalam tulisannya
“Mobilisasi Intelektual Nasional untuk Mengadakan Wajib Belajar”, Ki Hadjar
mengajukan “Asas Kultural dan Sosial” dalam proses pembelajaran rakyat
Indonesia, khususnya pembelajaran membaca dan menulis. Di situ ia mengemukakan
‘Methode-Keluarga’ sebagai “laku pengajaran, yang karena praktisnya, mudah
dilakukan oleh tiap-tiap orang yang sudah pandai membaca untuk dipakai bagi
tiap-tiap orang di dalam keluarga.” Dalam banyak tulisan, Ki Hadjar juga
menempatkan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan. Dalam tulisan “Pendidikan
Keluarga”. Ki Hadjar menyimpulkan perlunya anak-anak dikembalikan “ke dalam
alam keluarganya”. Keluarga adalah hak anak dan oleh karena itu jangan merampas
anak dari keluarganya. Di sisi lain, jangan juga keluarga membuang anak ke
sekolah karena kebutuhan utama anak ada dalam keluarga.
Bagi Ki Hadjar,
keluarga adalah alam yang paling penting bagi pertumbuhan anak. Apalagi di
Indonesia, pola hidup kekeluargaan dan kelekatan orang dengan keluarga dinilai
sangat penting. “Mulai dari kecil hingga dewasa anak-anak hidup di tengah keluarganya.”
Begitu tulis Ki Hajar. “Ini berarti bahwa anak-anak itu baik di dalam “masa
peka”-nya maupun di dalam periode bertumbuhnya fikiran mendapat pengaruh yang sebanyak-banyaknya
serta sedalam-dalamnya dari keluarganya masing-masing.” Keluarga merupakan
lingkungan yang sangat bermakna bagi anak. Apa yang terjadi dalam keluarga
merupakan fenomena yang dihayati anak sebagai peristiwa penting dan oleh karena
itu dijadikan titik-tolak anak untuk belajar dan berusaha memahami dunia.
Pendidikan yang tidak relevan dengan keluarga akan cenderung diabaikan anak
sebab dinilai bukan sebagai hal yang bermakna.
Pemikiran Ki Hajar
tentang pentingnya keluarga sebagai komunitas yang bermakna bagi anak sejalan
dengan konstruktivisme yang memandang bahwa pembelajaran dan perolehan
pengetahuan pada anak akan terjadi jika dan hanya jika apa yang akan dipelajari
dan diketahui itu relevan dengan kehidupan anak. Objek-objek yang bermakna
(dalam arti dianggap penting) akan dikenali dan dipelajari sehingga
representasinya disimpan dalam kognisi (pikiran) anak dalam bentuk pengetahuan.
Sebaliknya objek-objek yang tak bermakna akan diabaikan oleh anak. Anak-anak
memilih sendiri pengetahuan apa yang akan dikonstruksi dalam pikiran
berdasarkan derajat kepentingannya. Lingkungan sosial, dengan keluarga sebagai
pusat, memberikan dasar penting-tidaknya suatu pengetahuan bagi anak. Pemikiran
ini juga sejalan dengan pemikiran Vygotsky (1978) yang menjadi salah satu dasar
dari konstruktivisme-sosial.
Pemikiran
tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia merupakan sumbangan orisinil dari
Ki Hadjar. Meski dewasa ini sudah banyak ahli pendidikan dan psikologi pendidikan
yang menekankan pentingnya konteks sosial-budaya tempat siswa hidup, tetap saja
rumusan tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia yang komprehensif baru
dikemukakan oleh Ki Hadjar. Dalam kumpulan karyanya tentang pendidikan, kita
temukan berbagai rumusan konsep pendidikan yang berkonteks Indonesia itu. Di
antaranya dalam tulisan “Pendidikan dan pengajaran nasional”, “Taman Madya”,
“Taman Siswa dan Shanti Niketan”, “Olah gending minangka panggulawentah atau Olah
gending sebagai pendidikan”, “Kesenian dalam Pendidikan”, “Faedahnya sistim
pondok’, dan “Pengajaran budipekerti”. Di dalamnya juga termasuk pentingnya
pendidikan memfasilitasi siswa untuk mempelajari etika, ada-istiadat dan
budi-pekerti agar siswa nantinya dapat hidup mandiri dan ikut berkontribusi
dalam masyarakatnya.
Keterbukaan pikiran disertai dengan
kerangka orientasi ke masa depan melahirkan progresivitas pemikiran Ki Hajar.
Ia menjadi tokoh Indonesia yang berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan
banyak kalangan dari berbagai bangsa. Itulah yang menjadikan pikirannya tetap
relevan hingga di abad ke-21 ini. Ia menggunakan berbagai pengetahuan yang
dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk
menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat. Dari situ, saya
memahami Ki Hadjar sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi,
bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep pendidikan yang
dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persolan-persoalan
pendidikan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia di masa ia hidup. Dari
pergulatannya dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran
progresif yang memberi solusi konstruktif.
F.
Peranan Ki Hadjar
Dewantara Dalam Perkembangan Pendidikan Di Indonesia Saat Ini
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki
Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku
pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara mendidik
dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi),
yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran
yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia,
untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan
adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan
membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah
“penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia
(humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk
tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik
mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan
demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2
hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus
bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari
aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih
memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar
Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru
yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau
sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa
ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi
Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Menurut tulisan Theo Riyanto,
perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan
sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita
ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru
spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan
peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara,
para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan
spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga
menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama
sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai
fasilitator kelas.
Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai
guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar
adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan,
sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar
(menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia
ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati
sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak
Tuhan dan membawa keselamatan.
Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia
haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistik dan
spiritualistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual.
Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu
merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan,
merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh
dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan
adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati,
cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap
individu hendaknya dihormati, pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk
menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual, pendidikan
hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan
dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi
perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan, pendidikan
hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri, setiap orang
harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan
kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta
didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi
anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya
dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang
yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among
yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah
dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati
dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari
proses mengajar, hubungan dan interaksi selama proses pendidikan yang kemudian
pada hari ini atau masa depan peserta didik menjadi contoh yang selalu di tiru
dan di gugu. Jadi guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang
senantiasa menjaga wibawa, menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan dirinya
‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan kaku di hadapan peserta didiknya.
Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak maka
‘perilaku’ seorang guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling
efektif dan pengaruhnya sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah
yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan sosial peserta didik. Secara
psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta
didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam ‘bersikap’,
‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun orang lain.
Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki hajar
Dewantara maka seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan ‘trompah’
dari jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari
‘kepahlawanan’ untuk kemudian ‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah kemudian dia
layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap manusia lain. Bagaimana agar ketadanan
seorang guru berbuah hal yang baik pada jiwa, sikap dan perilaku peserta
didiknya dimasa akan datang, maka seorang guru haruslah ‘profesional’ dalam
pengajaran dan hubungan social. Bukan professional ‘to have’ tetapi
professional ‘to be’. Bukan professional disebabkan kebendaan (materi) tetapi
professional bersumber dari ‘penguasaan diri’, ‘pengabdian’ dan ‘kehormatan’
diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ akan menjadi cara hidup
seorang guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya melalui
‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala
dan pancaindera peserta didiknya.
Proses memindahkan segala’keteladanan diri’
pengetahuan diri dan perilaku professional seorang guru kepada peserta didik
dibutuhkan teknik yang oleh Ki hajar dewantara disebuat ‘among’ mendidik dengan
sikap asih, asah dan asuh, dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu ‘mengajar’
tetapi juga mampu ‘mendidik’. Pada posisi inilah guru juga harus mampu menjadi
motivator dikelasnya. Mengapa motivator? Karena Motivator memiliki kekuatan
sinergis antara mengajar dan mendidik seperti motivasi dari pendidikan Ki Hajar
itu sendiri.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara,
metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan di Indonesia adalah sistem Among. Ajarannya yang terkenal ialah tut
wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di
tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan
memberi teladan).
Sistem Pendidikan Taman Siswa yang
digagas oleh Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah pola pendidikan yang berusaha
menyambungkan kembali benang merah kejayaan Indonesia pada masa lampau sehingga
harkat dan martabat bangsa kita kembali terangkat.
Perumusan sistem pembelajaran ini berusaha menekankan pada aspek keluhuran budaya dan keseimbangan manusia dalam daya cipta, rasa dan karsa. Kita diajarkan untuk tidak memaksakan kehendak dan membatasi pertumbuhan potensi anak yang diakui berbeda-beda setiap individunya.
Perumusan sistem pembelajaran ini berusaha menekankan pada aspek keluhuran budaya dan keseimbangan manusia dalam daya cipta, rasa dan karsa. Kita diajarkan untuk tidak memaksakan kehendak dan membatasi pertumbuhan potensi anak yang diakui berbeda-beda setiap individunya.
Teori Lengkap, tetapi tidak ada dapusnya ya..
BalasHapusTeori Lengkap, tetapi tidak ada dapusnya ya..
BalasHapusKa. Izin share. Dan Boleh minta daftar pustakanya gak ya??
BalasHapus