BERANI BERKARYA

WELCOME TO MY BLOG

Jumat, 01 November 2013

Boraks dan Formalin



BORAKS DAN FORMALIN
Penggunaan bahan tambahan makanan yang terlarang masih dilakukan. Bahkan tampaknya akan semakin tinggi jika mengambil segmen pengusaha pangan jajanan. Produknya justru banyak sekali dikonsumsi oleh masyarakat luas, termasuk kalangan remaja dan anak-anak usia sekolah.
a)      Pengertian Zat Aditif
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/Menkes/PER/XII/76, yang dimaksud zat aditif, yaitu bahan yang sengaja ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu makanan.  Sedangkan FAO dan WHO dalam kongresnya di Roma tahun 1956 menetapkan definisi zat aditif sebagai bahan-bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah sedikit untuk memperbaiki warna, bentuk, cita-rasa, tekstur, atau memperpanjang masa simpan (Winarno dkk, 1984). 
Zat aditif menurut peraturan Menkes No. 235 (1979) dapat dikelompokan menjadi 14 kelompok berdasarkan fungsinya, yaitu:(1) antioksidan dan antioksidan sinergis; (2) anti kempal; (3) pengasam, penetral dan pendapar; (4) enzim; (5) pemanis buatan; (6) pemutih dan pematang; (7) penambah gizi; (8) pengawet; (9) pengemulsi, pemantap dan pengental; (10) pengeras; (11) pewarna alami dan sintetik; (12) penyedap rasa dan aroma; (13) sekuestran; (14) zat aditif lain.  
Penggunaan zat aditif pada produk pangan harus mempunyai sifat: dapat mempertahankan nilai gizi makanan tersebut, tidak mengurangi zat-zat esensial di dalam makanan, mempertahankan atau memperbaiki mutu makanan, dan menarik bagi konsumen, tetapi tidak merupakan suatu penipuan.  Sedangkan zat aditif  yang  tidak boleh digunakan antara lain mempunyai sifat: dapat merupakan penipuan bagi konsumen, menyembunyikan kesalahan dalam teknik penanganan atau pengolahan, dapat menurunkan nilai gizi makanan, dan tujuan penambahan masih dapat digantikan perlakuan-perlakuan lain yang lebih praktis.
Zat aditif dapat diperoleh dari ekstrak bahan alami yang disebut zat aditif alami, dan dapat pula dibuat dari reaksi-reaksi tertentu, atau yang dikenal dengan zat aditif  sintetik. Daun suji, kunyit, cabai, anggur, bit, wortel, jeruk merupakan contoh pewarna alami.  Sedangkan zat pewarna sintetik yang boleh digunakan dalam makanan harus yang berlabel FD&C (food, drugs & cosmetics), contohnya: FD&Yellow no.5 dan 6,dan  FD&Cred no 2 dan 3.  Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa masih sering kita jumpai penggunaan zat pewarna merah Rhodamin B dan Metanil Yellow pada produk makanan industri rumah tangga seperti  kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, bisKuit, sosis, manisan dan ikan asap.  Perlu diketahui bahwa kedua zat pewarna tersebut adalah bahan kimia yang digunakan untuk pewarna merah dan kuning pada industri tekstil dan plastik.  
Zat penyedap rasa yang umum digunakan biasanya yaitu Mono Sodium Glutamat (MSG) yang merupakan garam natrium dari asam glutamat. MSG merupakan zat penyedap rasa sintetik.  MSG menggunakan gluten dari gandum, jagung,  kedelai serta hasil samping penggunaan gula bit atau molase gula tebu sebagai  bahan baku. Sedangkan contoh zat penyedap rasa alami, yaitu: terasi yang dapat dibubuhkan ke dalam sayur asem, kemudian juga garam dapur sebagai pembangkit cita rasa makanan dimana makanan menjadi lebih gurih dan berasa asin.  Sedangkan cuka atau asam jawa dapat menyebabkkan rasa makanan menjadi asam segar. 
Zat aroma (penimbul cita rasa) sintetik yang biasa digunakan misalnya amil asetat seperti aroma pisang, vanillin dan ekstrak paniliamil kaproat memberikan aroma serupa aroma apel dan nenas,  sitronelal mempunyai aroma bunga (ros), benzil asetat aroma strawberry, diasetil aroma mentega dan aldehida sinamat aroma kayu manis. Pemanis yang utama pada makanan adalah sukrosa, yang dapat diperoleh baik dalam bentuk gula pasir, gula jawa atau gula kelapa.  Sedangkan zat pemanis sintetik yang sering digunakan yaitu: Garam Na dan Ca siklamat (kemanisannya 30 kali lebih besar dari gula), Ca dan Na Sakarin (Kemanisannya 400 kali lebih besar dari kemanisan larutan gula 10%), kalium-asesulfam (aman dikonsumsi merupakan serbuk kristal dengan kemanisan 200 kali lebih besar dari gula),  aspartam, dihidrokalkon, dan flavonoid neohesperidin. 


b)      Zat Pengwet
Zat kimia yang digunakan sebagai pengawet dapat berupa zat organik dan anorganik.  Zat organik lebih sering digunakan untuk pengawet karena mudah dibuat. Zat organik yang biasanya digunakan adalah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat (cuka) dan epoksida.  Asam benzoat atau garam natriumnya sering digunakan untuk bahan makanan dengan kondisi asam, seperti minuman buah, sari apel, minuman berkarbonat, acar, dan sambal tomat. Bahan ini digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Benzoat efektif pada pH 2,5- 4,0. Asam benzoat secara alami terdapat dalam rempah-rempah dan kayu manis.  Cuka atau larutan 4% asam asetat biasa digunakan untuk mencegah pertumbuhan kapang dalam roti.
Zat pengawet anorganik yang digunakan adalah sulfit, nitrat dan nitrit. Garam nitrit dan nitrat (NaNO3 atau NaNO2, dengan nama dagang sendawa Chili) biasanya digunakan untuk memperoleh warna daging yang baik dan menghambat pembentukan toksin oleh Clostridium botulinum.  Namun demikian, penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet dapat membahayakan, bila terjadi ikatan antara nitrit dengan amino atau amida yang dapat membentuk turunan nitrosamida (senyawa karsinogen nitrosamina) yang bersifat toksik (racun) dan dapat menimbulkan kanker pada hewan.  Oleh karena itu penggunaan nitrit hendaknya dibatasi. Zat pengawet yang paling aman digunakan adalah pengawet alamiah seperti gula, garam dapur, dan asam jawa. 
Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut :
1.   GRAS (Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali.
2.   ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.
3.   zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi, karena berbahaya seperti boraks dan formalin.
Akhir-akhir ini beredar informasi di masyarakat dimana terjadi penyalahgunaan penggunaan zat aditif  terutama zat pengawet pada produk pangan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan penggunaannya dan zat aditif tersebut dapat memicu terjadinya penyakit kanker.  Sebagai contoh yaitu penggunaan boraks dan formalin dalam makanan sehari-hari seperti baso, mie basah, ikan asin dan tahu.
1.     Formalin
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk.  Di dalam larutan formalin terkandung sekitar 37% formaldehid dalam air dan merupakan anggota paling sederhana dan termasuk kelompok aldehid dengan rumus kimia HCHO.  Formalin biasanya diperdagangkan di pasaran dengan nama berbeda-beda antara lain yaitu: Formol, Morbicid, Methanal, Formic aldehyde, Methyl oxide, Oxymethylene, Methylene aldehyde, Oxomethane, Formoform, Formalith, Karsan, Methyleneglycol, Paraforin, Polyoxymethylene glycols, Superlysoform, Tetraoxymethylene, dan Trioxane.
Formalin digunakan pada :
Ø Bidang kesehatan : desinfektan dan pengawet mayat
Ø Industri perkayuan dan plywood : sebagai perekat
Ø Industri plastik : bahan campuran produksi
Ø Industri tekstil, resin, karet dan fotografi : mempercepat pewarnaan.
Dari hasil sejumlah  survey dan pemeriksaan laboratorium, ditemukan sejumlah produk pangan menggunakan formalin sebagai pengawet misalnya ikan segar, ayam potong, mie basah, bakso, ikan asin dan tahu yang beredar di pasaran, dengan ciri sebagai berikut:

Ø Tahu yang bentuknya sangat kenyal, tidak mudah hancur, awet beberapa hari dan berbau menyengat.

Ø Mie basah yang berwarna lebih mengkilat serta awet beberapa hari dan tidak mudah basi dibandingkan dengan yang tidak mengandung formalin.

Ø Ayam potong yang berwarna putih bersih, awet dan tidak mudah busuk.

Ø Ikan basah yang warnanya putih bersih, kenyal, insangnya berwarna merah tua bukan merah segar, awet sampai beberapa hari dan tidak mudah busuk.

Ø Ikan asin yang bentuknya bagus, tidak lembek, tidak bau, dan awet.

Ø Bakso yang berwarna lebih putih dan lebih keras serta awet sampai beberapa hari dan tidak mudah busuk.
Formalin tidak diizinkan ditambahkan ke dalam bahan makanan atau digunakan sebagai pengawet makanan, tetapi formalin mudah diperoleh dipasar bebas dengan harga murah.  Adapun landasan hukum yang dapat digunakan dalam pengaturan formalin yaitu:


Ø UU Nomor :  23 tahun 1992 tentang Kesehatan


Ø UU Nomor : 7 tahun 1996 tentang Pangan


Ø UU Nomor : 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Ø Kepmenkes Nomor : 1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Bahan Tambahan Makanan


Ø SK Memperindag Nomor : 254/2000 tentang Tataniaga Impor dan Peredaran Bahan Berbahaya



Dampak formalin pada kesehatan manusia, dapat bersifat akut dan kronik.
a.   Akut  (efek pada kesehatan manusia terlihat langsung).
1)   Bila terhirup akan terjadi iritasi pada hidung dan tenggorokan, gangguan pernafasan, rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan serta batuk-batuk. Kerusakan jaringan dan luka pada saluran pernafasan seperti radang paru dan pembengkakan paru. Tanda-tanda lainnya meliputi bersin, radang tekak, radang tenggorokan, sakit dada, yang berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, mual dan muntah. Pada konsentrasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian.
2)   Bila terkena kulit akan menimbulkan perubahan warna, yakni kulit menjadi merah, mengeras, mati rasa dan ada rasa terbakar.
3)   Bila terkena mata akan menimbulkan iritasi mata sehingga mata memerah, rasanya sakit, gata-gatal, penglihatan kabur dan mengeluarkan air mata. Bila merupakan bahan berkonsentrasi tinggi maka formalin dapat menyebabkan pengeluaran air mata yang hebat dan terjadi kerusakan pada lensa mata.
4)   Apabila tertelan maka mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kejang, tidak sadar hingga koma.  Selain itu juga dapat terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal. 
b.   Kronik  (setelah terkena dalam jangka waktu yang lama dan berulang).
1)   Apabila terhirup dalam jangka waktu lama maka akan menimbulkan sakit kepala, gangguan sakit kepala, gangguan pernafasan, batuk-batuk, radang selaput lendir hidung, mual, mengantuk, luka pada ginjal dan sensitasi pada paru. Efek neuropsikologis meliputi gangguan tidur, cepat marah, keseimbangan terganggu, kehilangan konsentrasi dan daya ingat berkurang.  Gangguan haid dan kemandulan pada perempuan.  Kanker pada hidung, rongga hidung, mulut, tenggorokan, paru dan otak.
2)   Apabila terkena kulit, kulit terasa panas, mati rasa, gatal-gatal serta memerah, kerusakan pada jari tangan, pengerasan kulit dan kepekaan pada kulit, dan terjadi radang kulit yang menimbulkan gelembung.
3)   Jika terkena mata, yang paling berbahaya adalah terjadinya radang selaput mata.
4)   Jika tertelan akan menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan, muntah-muntah dan kepala pusing, rasa terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan dan rasa gatal di dada.
Pemakaian formaldehida pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia, dengan gejala: sukar menelan, mual, sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, mencret darah, timbulnya depresi susunan syaraf, atau gangguan peredaran darah. Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah) dan haimatomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian. Injeksi formalin dengan dosis 100 gr dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3 jam.
Formalin tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan makanan (additive) pada Codex Alimentarius, maupun yang dikeluarkan oleh Depkes.  Humas Pengurus Besar Perhimpunan Dokter spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) menyatakan formalin mengandung 37% formalin dalam pelarut air dan biasanya juga mengandung 10 persen methanol. Formalin sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena dapat menyebabkan kanker, mutagen yang menyebabkan perubahan sel dan jaringan tubuh, korosif dan iritatif. Berdasarkan penelitian WHO, kandungan formalin yang membahayakan sebesar 6 gram. Padahal rata-rata kandungan formalin yang terdapat pada mie basah 20 mg/kg mie.


2.     Boraks
Boraks merupakan senyawa kimia dengan nama natriurn tetraborat, berbentuk kristal lunak.  Boraks bila dilarutkan dalam air akan terurai menjadi natrium hidroksida serta asam borat.  Baik boraks maupun asam borat memiliki sifat antiseptik, dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan obat pencuci mata.  Secara lokal boraks dikenal sebagai 'bleng' (berbentuk larutan atau padatan/kristal) dan ternyata digunakan sebagai pengawet misalnya pada pembuatan mie basah, lontong dan bakso.
Penggunaan boraks ternyata telah disalahgunakan sebagai pengawet makanan, antara lain digunakan sebagai pengawet dalam bakso dan mie. Boraks juga dapat menimbulkan efek racun pada manusia, tetapi mekanisme toksisitasnya berbeda dengan formalin. Toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan oleh konsumen. Boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak, atau testis (buah zakar), sehingga dosis boraks dalam tubuh menjadi tinggi.  Pada dosis cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10 - 20 g atau lebih.
c)       Dampak Negatif Zat Aditif 
Dalam perkembangan terakhir, zat aditif (ZA) disebut-sebut sebagai zat yang dapat memicu terjadinya penyakit kanker. World Health Organization (WHO) dan Food and Agricultural  Organization (FAO) menyatakan bahwa ancaman potensial dari residu bahan makanan terhadap kesehatan manusia dibagi dalam 3 katagori yaitu :
Ø aspek toksikologis, katagori residu bahan makanan yang dapat bersifat racun terhadap organ-organ tubuh.
Ø aspek mikrobiologis, mikroba dalam bahan makanan yang dapat mengganggu keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan.
Ø aspek imunopatologis, keberadaan residu yang dapat menurunkan kekebalan tubuh.
                      Dampak negatif zat aditif terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak langsung, dalam jangka pendek maupun  jangka panjang seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel 1.  Dampak negatif zat aditif berlebihan

Zat Aditif

Dampak terhadap Kesehatan

Sumber

Sulfit
Menyebabkan sesak napas, gatal-gatal dan bengkak.

Intisari (2001)

Zat Warna
Menimbulkan alergi

Arbor (1997)

Menimbulkan kanker hati

Hartulistiono (1997)

Menyebabkan hypertrophy, hyperplasia, carcinomas kelenjar tiroid.

Shils et al (1994)

MSG

Kerusakan otak

Blaylock (1999)

Kelainan hati, trauma, hipertensi, stress, demam tinggi, mempercepat proses penuaan, alergi kulit, mual, muntah, migren, asma, ketidakmampuan belajar, dan depresi.

Republika (2003)

BHT & BHA
Menyebabkan kelainan kromosom pada orang yang alergi terhadap aspirin.

Intisari (2001)

Pemanis

Menyebabkan kanker kantong kemih (saccarin).

Hartulistiono (1997) 

Gangguan saraf dan tumor otak (aspartan).

Hartulistiono (1997)

Mutagenik.

Hartulistiono (1997)
  
Sedangkan dampak negatif penggunaan formalin dan boraks dapat dilihat pada tabel berikut. 
Tabel 2.   Efek penggunaan formalin dan boraks dalam produk pangan

No.

Zat Aditif

Efek

Guna Sebenarnya

Keterangan

1.

Boraks

Dapat mengakibatkan nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan, kebodohan, kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, dan karsinogenik

Sebagai pengawet pada industri kayu dan kaca.




Dilarang sebagai bahan tambahan makanan (PerMenKes RI No.722/Menkes/Per/IX/ 1988).

2.

Formalin

Akut : rasa gatal pada mata, lakrimasi, menit, susah bernafas, batuk, rasa panas pada hidung, tenggorokan, iritasi akut saluran penafasan. Kronik: Karsinogen, gangguan menstruasi dan kesuburan wanita, percikan pada mata dapat menyebabkan kerusakan berat, kornea buram dan buta.

Sebagai desinfektan, bahan perekat plywood, veneer, partikel papan tulis, plastik, pupuk dan pengawet.

Dilarang sebagai bahan tambahan makanan (PerMenKes RI No.722/Menkes/Per/IX/ 1988) Termasuk dalam Pengamanan Bahan Berbahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar